Aku sedang
duduk di kursi bambu, menatapi layar ponsel di teras rumah kontrakan yang
kudiami dengan dua orang temanku. Rumah yang tak begitu bagus. Tempat yang jika
kau datangi, kau hanya akan melihat tiang yang cukup kokoh untuk menahan atap
yang hampir roboh. Kursinya pun sudah tak begitu layak, bangku panjang namun
hanya separuh yang bisa diduduki karena separuhnya lagi sudah banyak potongan
bambu yang patah. Aku bertaruh, kau tak ingin menduduki separuh bagiannya.
Tak ada
hujan malam itu, tak ada mendung yang menghalangi kita melihat banyak bintang
diatasnya. Tak banyak yang kulihat disekitar, kecuali beberapa tetangga
melintas yang hendak pulang. Yang membuatku senang, senyum sapa mereka seakan
menyembunyikan letih setelah seharian membanting tulang.
Malam itu,
aku sedang menunggu seseorang. Wanita yang sudah lama kukenal, dia yang pernah
berbagi rasa selagi kami bersama. Saat tulisan ini kuketik pun aku baru ingat,
jika aku pernah menjalani kisah yang sederhana. Pernah saling memudarkan rindu
tanpa ini itu, saling memudahkan temu tanpa sederetan kode yang memaksa
seseorang harus mengerti tanpa diungkap. Saling mengerti bahwa aku
membutuhkannya, dan dia juga merasakan hal yang sama. Sama sama tahu, bahwa
saling diam hanya akan menjauhkan kami perlahan. Mestinya, cinta memang harus
saling memudahkan.
Kami
berjanji akan bertemu, namun ada satu hal yang membuatku menunggu lebih lama
dari biasanya. Malam itu, dia sedang mendatangi perayaan malam Paskah. Benar,
saat itu adalah malam Paskah, sekitar dua tahun yang lalu.
Dia wanita
yang memiliki pribadi jenaka dan banyak bercerita, itulah kenapa saat kami
dekat waktu terasa begitu cepat. Dia, wanita yang piawai menuliskan sajak,
menyukai puisi dan hal hal aneh yang membuatku sadar jika kami memang memiliki
selera yang sama. Kami menyukai hal yang sama, membenci hal yang sama, sampai
terkadang aku melihat diriku sendiri dari sosoknya. Banyak kesamaan dalam diri
kami, satu satunya yang berbeda adalah cara kami berdoa.
Aku memang
bukan muslim yang taat, hanya menuju Masjid selagi sempat. Namun pedih rasanya
jika untuk beribadah saja kami harus menuju ke tempat yang berbeda. Pahit
memang, kami pernah sama sama bahagia namun tak pernah merayakan hari raya di
waktu yang sama.
Agama yang
‘dipilihkan’ untuk kami sejak lahir menciptakan perbedaan perbedaan itu.
Kepercayaan yang ‘ditanamkan’ kepada kami sejak kecil membuat kami tak pernah
benar benar menyatu.
Setelah
beberapa saat, dia datang.
Habis
seluruh kata jika harus kutuliskan seberapa cantik parasnya. Malam itu dia
datang dengan tatapan indah karena lensa kontak di matanya, rambutnya terurai
panjang sampai pinggang, menghampiriku perlahan dengan warna merah gincu yang
masih melekat di bibir tipisnya. Lalu kemudian aku sadar, dia baru saja
menghadiri perayaan malam Paskah, itulah kenapa dia berpenampilan beda dari
biasanya.
“Kemana
kita?” Dia bertanya.
Tak banyak
yang kurencanakan, bagiku saat itu, hanya berada didekatnya pun sudah cukup
untuk memperindah malam.
Jogja selalu
kemerlip, bersama dia malam itu, kami sedang menikmati setiap pijarnya. Namun
ada yang berbeda, kami yang biasanya menertawakan banyak hal berdua, malam itu
hanya ada senyap diantara kami.
“Aku udah
nggak bisa disini lagi.” Katanya.
“Maksud
kamu?” Tanyaku.
“Aku mau
pulang.”
Lalu kami
terdiam, kota yang sebelumnya kemerlip seketika terlihat hitam.
Kemudian
kami berhenti di salah satu tempat makan, ingin sedikit mencairkan suasana
dengan membicarakannya berdua sambil makan malam.
Aku menaruh
helm di atas spion motor, lalu kulepas jaket abu-abuku dan kutaruh di kepala
lampunya.
“Jangan
taruh disitu!” Bentak dia.
“Loh,
kenapa?” Tanyaku.
“Pamali.
Bawa aja.” Jawabnya, kemudian masuk lebih dulu untuk mencari tempat duduk.
Pamali? Pikirku. This girl is just weird as always, gumamku sambil mengikutinya dari
belakang dengan jaket abu abu yang kukalungkan dileherku.
Malam itu
dia banyak bercerita seperti biasanya. Hanya saja, aku tak merasakan keceriaan
yang dia tunjukkan di hari hari sebelumnya. Dia bercerita tentang banyak hal
pamali yang biasa terjadi di daerah asalnya. Dia juga berkata, segala yang
pamali di tempatnya, tak bisa terjadi di Jogja. Weird, isn’t she?
Aku tak
begitu peduli dengan hal hal pamali yang bisa mencelakai, yang kutahu, aku akan
celaka seumur hidup jika dia tak berada didekatku.
“Kenapa
harus pergi?” Tanyaku.
Dia tak
menjelaskan begitu banyak, hanya membuatku sadar bahwa cerita yang kami tata
rapi akan berakhir sebentar lagi. Kisah yang kita tuliskan sejak lama akan kami
akhiri bersama. Mungkin memang benar, dua hal serupa terkadang tak dapat
disatukan, seberapapun keras kita memaksanya. Seperti dua magnet yang mempunya
dua ujung sama, kau tak akan bisa membuatnya menyatu. Mungkin jenuh, pikirku.
Namun, ada
hal lain yang membuatku menelan pil yang lebih pahit, bahwa bukan kesamaan itu
yang menjenuhkan, tapi adanya perbedaan yang menjauhkan. Perbedaan kepercayaan
yang membuatku buta setiap aku ingin menatap jauh kedepan.
Kami saling
diam malam itu. Itu malam pertama kali yang membuat kami kehabisan cerita,
malam yang membuat kami tak mempunyai keinginan untuk bicara lebih banyak lagi.
Lucu rasanya
mengingat itu adalah malam Paskah. Malam yang lekat dengan segala hal yang
bangkit, namun yang kurasakan hanya lemas, butuh tenaga yang lebih untuk
berjalan perlahan agar tak roboh disampingnya. Aku tak dapat benar benar
bangkit semalaman.
Sebelum dia
hendak pulang ke rumah kosnya, kami masih saling bertatap muka. Ada banyak yang
ingin diungkapkan, namun tak ada sepatah katapun keluar dari mulut kami. Juga,
tak ada yang dapat kulakukan selain membiarkannya pergi. Mungkin benar,
pikirku. Mungkin ini saatnya meletakkan pena dan mengakhiri cerita.
“Yaudah kalo
gitu, cepat pulang keburu malam.” Kataku dengan suara yang sedikit purau.
“Iya.”
Jawabnya singkat.
Aku menatap
mata indahnya. Kuharap ini bukan yang
terakhir, kataku dalam hati. Lalu dia memelukku erat, pelukan yang tak
ingin kulepas dengan cepat.
Malam itu,
kita berpisah.
Hari itu,
dia memberikan pelukan terakhirnya di malam Paskah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar