Sabtu, 05 Maret 2016

Kita Berakhir Di Malam Paskah

Aku sedang duduk di kursi bambu, menatapi layar ponsel di teras rumah kontrakan yang kudiami dengan dua orang temanku. Rumah yang tak begitu bagus. Tempat yang jika kau datangi, kau hanya akan melihat tiang yang cukup kokoh untuk menahan atap yang hampir roboh. Kursinya pun sudah tak begitu layak, bangku panjang namun hanya separuh yang bisa diduduki karena separuhnya lagi sudah banyak potongan bambu yang patah. Aku bertaruh, kau tak ingin menduduki separuh bagiannya.

Tak ada hujan malam itu, tak ada mendung yang menghalangi kita melihat banyak bintang diatasnya. Tak banyak yang kulihat disekitar, kecuali beberapa tetangga melintas yang hendak pulang. Yang membuatku senang, senyum sapa mereka seakan menyembunyikan letih setelah seharian membanting tulang.

Malam itu, aku sedang menunggu seseorang. Wanita yang sudah lama kukenal, dia yang pernah berbagi rasa selagi kami bersama. Saat tulisan ini kuketik pun aku baru ingat, jika aku pernah menjalani kisah yang sederhana. Pernah saling memudarkan rindu tanpa ini itu, saling memudahkan temu tanpa sederetan kode yang memaksa seseorang harus mengerti tanpa diungkap. Saling mengerti bahwa aku membutuhkannya, dan dia juga merasakan hal yang sama. Sama sama tahu, bahwa saling diam hanya akan menjauhkan kami perlahan. Mestinya, cinta memang harus saling memudahkan.

Kami berjanji akan bertemu, namun ada satu hal yang membuatku menunggu lebih lama dari biasanya. Malam itu, dia sedang mendatangi perayaan malam Paskah. Benar, saat itu adalah malam Paskah, sekitar dua tahun yang lalu.

Dia wanita yang memiliki pribadi jenaka dan banyak bercerita, itulah kenapa saat kami dekat waktu terasa begitu cepat. Dia, wanita yang piawai menuliskan sajak, menyukai puisi dan hal hal aneh yang membuatku sadar jika kami memang memiliki selera yang sama. Kami menyukai hal yang sama, membenci hal yang sama, sampai terkadang aku melihat diriku sendiri dari sosoknya. Banyak kesamaan dalam diri kami, satu satunya yang berbeda adalah cara kami berdoa.

Aku memang bukan muslim yang taat, hanya menuju Masjid selagi sempat. Namun pedih rasanya jika untuk beribadah saja kami harus menuju ke tempat yang berbeda. Pahit memang, kami pernah sama sama bahagia namun tak pernah merayakan hari raya di waktu yang sama.

Agama yang ‘dipilihkan’ untuk kami sejak lahir menciptakan perbedaan perbedaan itu. Kepercayaan yang ‘ditanamkan’ kepada kami sejak kecil membuat kami tak pernah benar benar menyatu.

Setelah beberapa saat, dia datang.

Habis seluruh kata jika harus kutuliskan seberapa cantik parasnya. Malam itu dia datang dengan tatapan indah karena lensa kontak di matanya, rambutnya terurai panjang sampai pinggang, menghampiriku perlahan dengan warna merah gincu yang masih melekat di bibir tipisnya. Lalu kemudian aku sadar, dia baru saja menghadiri perayaan malam Paskah, itulah kenapa dia berpenampilan beda dari biasanya.

“Kemana kita?” Dia bertanya.

Tak banyak yang kurencanakan, bagiku saat itu, hanya berada didekatnya pun sudah cukup untuk memperindah malam.



Jogja selalu kemerlip, bersama dia malam itu, kami sedang menikmati setiap pijarnya. Namun ada yang berbeda, kami yang biasanya menertawakan banyak hal berdua, malam itu hanya ada senyap diantara kami.

“Aku udah nggak bisa disini lagi.” Katanya.

“Maksud kamu?” Tanyaku.

“Aku mau pulang.”

Lalu kami terdiam, kota yang sebelumnya kemerlip seketika terlihat hitam.

Kemudian kami berhenti di salah satu tempat makan, ingin sedikit mencairkan suasana dengan membicarakannya berdua sambil makan malam.

Aku menaruh helm di atas spion motor, lalu kulepas jaket abu-abuku dan kutaruh di kepala lampunya.

“Jangan taruh disitu!” Bentak dia.

“Loh, kenapa?” Tanyaku.

“Pamali. Bawa aja.” Jawabnya, kemudian masuk lebih dulu untuk mencari tempat duduk.

Pamali? Pikirku. This girl is just weird as always, gumamku sambil mengikutinya dari belakang dengan jaket abu abu yang kukalungkan dileherku.

Malam itu dia banyak bercerita seperti biasanya. Hanya saja, aku tak merasakan keceriaan yang dia tunjukkan di hari hari sebelumnya. Dia bercerita tentang banyak hal pamali yang biasa terjadi di daerah asalnya. Dia juga berkata, segala yang pamali di tempatnya, tak bisa terjadi di Jogja. Weird, isn’t she?

Aku tak begitu peduli dengan hal hal pamali yang bisa mencelakai, yang kutahu, aku akan celaka seumur hidup jika dia tak berada didekatku.

“Kenapa harus pergi?” Tanyaku.

Dia tak menjelaskan begitu banyak, hanya membuatku sadar bahwa cerita yang kami tata rapi akan berakhir sebentar lagi. Kisah yang kita tuliskan sejak lama akan kami akhiri bersama. Mungkin memang benar, dua hal serupa terkadang tak dapat disatukan, seberapapun keras kita memaksanya. Seperti dua magnet yang mempunya dua ujung sama, kau tak akan bisa membuatnya menyatu. Mungkin jenuh, pikirku.

Namun, ada hal lain yang membuatku menelan pil yang lebih pahit, bahwa bukan kesamaan itu yang menjenuhkan, tapi adanya perbedaan yang menjauhkan. Perbedaan kepercayaan yang membuatku buta setiap aku ingin menatap jauh kedepan.

Kami saling diam malam itu. Itu malam pertama kali yang membuat kami kehabisan cerita, malam yang membuat kami tak mempunyai keinginan untuk bicara lebih banyak lagi.

Lucu rasanya mengingat itu adalah malam Paskah. Malam yang lekat dengan segala hal yang bangkit, namun yang kurasakan hanya lemas, butuh tenaga yang lebih untuk berjalan perlahan agar tak roboh disampingnya. Aku tak dapat benar benar bangkit semalaman.

Sebelum dia hendak pulang ke rumah kosnya, kami masih saling bertatap muka. Ada banyak yang ingin diungkapkan, namun tak ada sepatah katapun keluar dari mulut kami. Juga, tak ada yang dapat kulakukan selain membiarkannya pergi. Mungkin benar, pikirku. Mungkin ini saatnya meletakkan pena dan mengakhiri cerita.

“Yaudah kalo gitu, cepat pulang keburu malam.” Kataku dengan suara yang sedikit purau.

“Iya.” Jawabnya singkat.

Aku menatap mata indahnya. Kuharap ini bukan yang terakhir, kataku dalam hati. Lalu dia memelukku erat, pelukan yang tak ingin kulepas dengan cepat.





Malam itu, kita berpisah.

Hari itu, dia memberikan pelukan terakhirnya di malam Paskah.