Ara menutup
telfon rumahnya, lalu berjalan perlahan menyusuri tangga, hendak masuk kembali
ke kamarnya. Ada yang berbeda dari wajahnya. Kedua matanya nyaris tak terlihat,
tertutup poni lurusnya. Dia enggan memakai bando merah yang biasa dia pakai,
dia enggan orang lain tahu wajahnya begitu pucat karena isak tangis malam itu.
Lingkar hitam di rongga matanya seakan menjelaskan apa yang sedang dia
perjuangkan. Pipi merahnya tak lagi tampak, yang tersisa hanyalah wajah pucat.
Namun, tidak seorangpun tahu akan keadaannya malam itu.
Sesaat
setelah menutup pintu kamarnya rapat rapat, dia menghadap ke kasur yang
beberapa hari terakhir dibiarkannya berantakan. Barang barang yang ada
disekitarnya berserakan, tepat, serupa perasaannya sekarang yang belum juga
tertata rapi. Dia hampir terhentak, menahan sesak, lalu tangan kanannya meraih
mulutnya, menutupnya dengan erat. Ara terpejam, dan air matanya berlinang lagi,
jatuh menyusuri wajah pucatnya. Dia ingin berjalan ke kasurnya, ingin meraih
beberapa pil tidur dalam gelas kaca yang tergeletak diatas sprei merah muda. Namun, langkahnya
serasa berat, kasurnya serasa jauh, Ara seakan tak mampu melanjutkannya. Dia
benar benar menahan sesak yang hebat malam itu. Dia hampir roboh, tulang
kakinya seperti tak mampu lagi menahan beban yang dia tahan di pundaknya. Lalu,
dengan sesak yang tak kunjung hilang, dia berlutut, kemudian terduduk lemas,
tepat membelakangi pintu.
Ponsel Ara
menyala, dia meraih ponsel itu dari saku piyamanya. Lalu, pesan itu dia buka, air
matanya berlinang makin deras. Dia terpejam kembali, isak tangisnya makin tak
bisa dia hentikan, dan ponsel kecilnya jatuh tepat di samping kanannya. Malam
itu, waktu seakan berhenti, dan Ara, dia berharap sedang tak berada ditengah
tengahnya.
Ponselnya
masih dalam keadaan menyala, pesan yang baru saja dia buka tertulis :
Maaf, Ra. Tapi, dia yang selalu ada.
…………
Diatas
adalah sepotong cerita tentang seorang wanita yang diputusin pas sedang sayang
sayangnya, karena terpisah jarak yang bikin dia nggak bisa selalu ada disamping
cowoknya. Sebenernya sih, mau gue lanjutin bikin endingnya tapi pasti kalian
kecewa dan besok nggak mau buka blog gue lagi karena diakhir cerita Ara pergi
dugem sampe pagi.
Okay, let’s that sink in.
Kita,
terutama yang pernah menjalani LDR (Long Distance Relationship) pasti nggak
asing sama keadaan Ara diatas. Berjuang bener bener dengan tetep setia berada
ditempat yang sama, eh si dia kemana mana. Nunggu si dia nyamperin ke kota, eh
si dia masih jalan sama mantan gebetannya di seberang sana.
Okay,
kayaknya LDR (Long Distance Relationship) ini nggak perlu gue jelasin artinya
apa. Jaman sekarang, ABG mana sih yang nggak tau LDR itu apa. Ditinggal pacar
pulang ke rumah orang tuanya beberapa hari aja udah nangis sesengukan dan ngetwit ditinggal LDR.
Nggak jarang
ada beberapa orang yang tersiksa ngejalanin hubungan macam ini. Karena, kita
pasti ngerasain betul gimana hambarnya ngejalanin hubungan tanpa sentuhan,
hambarnya ngobrol tanpa ngerasain hangatnya genggaman tangan, hambarnya
berantem tanpa melihat kerutan dahinya didepan mata. Alhasil, kita dipaksa
terbiasa dengan kegiatan menunggu, karena emang hanya itu yang bisa pasangan
LDR lakuin. Gue sendiri pernah LDR selama dua tahun, gue tahu pasti kegiatan
kegiatan dan seberapa gede perjuangan yang harus kami lakuin buat tetep menjaga
kepercayaan masing masing. Okay, mungkin bagi beberapa orang, waktu dua tahun
LDR itu singkat, karena menurut gue masih banyak pasangan diluar sana yang udah
/ sedang berjuang lebih lama dari itu. Yah, karena kadar kesabaran orang
menunggu tuh beda beda kan ya, dan gue, emang nggak sanggup berjuang lebih lama dari
itu.
Dulu gue, si
dia, dan mungkin pasangan pasangan LDR pada umumnya, selalu naruh sebuah pola
pikir buat dijadiin alasan kenapa kami harus berjuang lebih dari ini. Alasan
yang bikin kami sama sama yakin, jika beban dan jarak nggak ada apa apanya
untuk kami. Salah satu pola pikir yang menguatkan kami adalah;
Di mata orang setia, jarak hanyalah sebuah
angka.
Seberapa jauh
kita dipisahkan, selalu ada alasan alasan yang bikin kita harus tetep berjuang
untuk bersama.
Dalam dua
tahun berjuang di hubungan-jarak-jauh tersebut, sempet bikin gue jadi bagpacker
sejati. Gue jadi rajin ngumpulin duit semata buat beli tiket bus atau kereta
biar bisa dateng ke kotanya, biar bisa stay beberapa hari di hotel deket tempat
dia tinggal atau sekedar bawa gift buat dia. Semua itu gue lakuin agar apa yang
dia tunggu selama ini punya arti. Gue jadi terbiasa masuk dari satu bus ke bus
lain, ketiduran di Masjid sampe shubuh karena nggak ada bus lewat, atau sekedar
jalan kaki di sepanjang trotoar. Semua itu demi satu alasan; bertemu.
Setelah
mengalami beberapa hal diatas, pikiran gue perlahan terbuka, kalo jarak tuh
nggak selalu jadi pemisah, tapi juga bisa jadi hal yang mendekatkan. Misalnya,
kita hanya bisa melihat dengan jelas sebuah objek dari jarak tertentu, karena
ada beberapa objek yang nggak bisa kita lihat dari jarak yang terlalu dekat.
Maka, “jarak” itulah yang bikin kita tahu seberapa jauh perjuangan kita untuk
bisa bersama.
Ngerti
nggak? Gue sih enggak.
Karena
terpisah jarak, kami jadi nggak pernah lepas dari ponsel. Satu satunya hal yang
bisa membuat kami merasa dekat adalah selalu jaga komunikasi dari balik telfon
genggam. Lucu rasanya pernah berjauhan namun terasa dekat. Karena mereka yang
berdekatan pun tak jarang merasa jauh.
Tapi,
kenyataan nggak selalu berjalan sesuai yang diharapkan. Kadang kita terpaksa
mundur dan menyerah saat kita nggak mampu berjalan lebih jauh karena perjuangan
apapun selalu ada batasnya. Tak lama setelah dua tahun jaga kepercayaan masing
masing, gue menyerah, saat mencapai titik dimana gue nggak bisa lagi melihat
ujungnya, saat gue nggak pengen lagi tersiksa lebih lama. Gue bener bener
ngerasain, hambar bisa jadi perasaan yang menyiksa.
Gue jadi
ngerasain, apa yang kami bicarakan selama itu hanyalah sebatas rencana. Nyatanya,
kami tak perah benar benar merasa didekatkan. Kami selalu menyalahkan waktu
menunggu yang terlalu lama, dan jarak yang terlalu jauh.
Jadi, gue
selalu menghargai mereka yang sampai saat ini masih LDR-an. Karena kita nggak
tau, seberapa jauh perjuangan mereka demi tetap bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar