Minggu, 11 Oktober 2015

Jarak


Ara menutup telfon rumahnya, lalu berjalan perlahan menyusuri tangga, hendak masuk kembali ke kamarnya. Ada yang berbeda dari wajahnya. Kedua matanya nyaris tak terlihat, tertutup poni lurusnya. Dia enggan memakai bando merah yang biasa dia pakai, dia enggan orang lain tahu wajahnya begitu pucat karena isak tangis malam itu. Lingkar hitam di rongga matanya seakan menjelaskan apa yang sedang dia perjuangkan. Pipi merahnya tak lagi tampak, yang tersisa hanyalah wajah pucat. Namun, tidak seorangpun tahu akan keadaannya malam itu.

Sesaat setelah menutup pintu kamarnya rapat rapat, dia menghadap ke kasur yang beberapa hari terakhir dibiarkannya berantakan. Barang barang yang ada disekitarnya berserakan, tepat, serupa perasaannya sekarang yang belum juga tertata rapi. Dia hampir terhentak, menahan sesak, lalu tangan kanannya meraih mulutnya, menutupnya dengan erat. Ara terpejam, dan air matanya berlinang lagi, jatuh menyusuri wajah pucatnya. Dia ingin berjalan ke kasurnya, ingin meraih beberapa pil tidur dalam gelas kaca yang tergeletak diatas sprei merah muda. Namun, langkahnya serasa berat, kasurnya serasa jauh, Ara seakan tak mampu melanjutkannya. Dia benar benar menahan sesak yang hebat malam itu. Dia hampir roboh, tulang kakinya seperti tak mampu lagi menahan beban yang dia tahan di pundaknya. Lalu, dengan sesak yang tak kunjung hilang, dia berlutut, kemudian terduduk lemas, tepat membelakangi pintu.

Ponsel Ara menyala, dia meraih ponsel itu dari saku piyamanya. Lalu, pesan itu dia buka, air matanya berlinang makin deras. Dia terpejam kembali, isak tangisnya makin tak bisa dia hentikan, dan ponsel kecilnya jatuh tepat di samping kanannya. Malam itu, waktu seakan berhenti, dan Ara, dia berharap sedang tak berada ditengah tengahnya.

Ponselnya masih dalam keadaan menyala, pesan yang baru saja dia buka tertulis :

Maaf, Ra. Tapi, dia yang selalu ada.


…………

Diatas adalah sepotong cerita tentang seorang wanita yang diputusin pas sedang sayang sayangnya, karena terpisah jarak yang bikin dia nggak bisa selalu ada disamping cowoknya. Sebenernya sih, mau gue lanjutin bikin endingnya tapi pasti kalian kecewa dan besok nggak mau buka blog gue lagi karena diakhir cerita Ara pergi dugem sampe pagi.

Okay, let’s that sink in.

Kita, terutama yang pernah menjalani LDR (Long Distance Relationship) pasti nggak asing sama keadaan Ara diatas. Berjuang bener bener dengan tetep setia berada ditempat yang sama, eh si dia kemana mana. Nunggu si dia nyamperin ke kota, eh si dia masih jalan sama mantan gebetannya di seberang sana.

Okay, kayaknya LDR (Long Distance Relationship) ini nggak perlu gue jelasin artinya apa. Jaman sekarang, ABG mana sih yang nggak tau LDR itu apa. Ditinggal pacar pulang ke rumah orang tuanya beberapa hari aja udah nangis sesengukan dan ngetwit ditinggal LDR.

Nggak jarang ada beberapa orang yang tersiksa ngejalanin hubungan macam ini. Karena, kita pasti ngerasain betul gimana hambarnya ngejalanin hubungan tanpa sentuhan, hambarnya ngobrol tanpa ngerasain hangatnya genggaman tangan, hambarnya berantem tanpa melihat kerutan dahinya didepan mata. Alhasil, kita dipaksa terbiasa dengan kegiatan menunggu, karena emang hanya itu yang bisa pasangan LDR lakuin. Gue sendiri pernah LDR selama dua tahun, gue tahu pasti kegiatan kegiatan dan seberapa gede perjuangan yang harus kami lakuin buat tetep menjaga kepercayaan masing masing. Okay, mungkin bagi beberapa orang, waktu dua tahun LDR itu singkat, karena menurut gue masih banyak pasangan diluar sana yang udah / sedang berjuang lebih lama dari itu. Yah, karena kadar kesabaran orang menunggu tuh beda beda kan ya, dan gue, emang nggak sanggup berjuang lebih lama dari itu.

Dulu gue, si dia, dan mungkin pasangan pasangan LDR pada umumnya, selalu naruh sebuah pola pikir buat dijadiin alasan kenapa kami harus berjuang lebih dari ini. Alasan yang bikin kami sama sama yakin, jika beban dan jarak nggak ada apa apanya untuk kami. Salah satu pola pikir yang menguatkan kami adalah;

Di mata orang setia, jarak hanyalah sebuah angka.

Seberapa jauh kita dipisahkan, selalu ada alasan alasan yang bikin kita harus tetep berjuang untuk bersama.

Dalam dua tahun berjuang di hubungan-jarak-jauh tersebut, sempet bikin gue jadi bagpacker sejati. Gue jadi rajin ngumpulin duit semata buat beli tiket bus atau kereta biar bisa dateng ke kotanya, biar bisa stay beberapa hari di hotel deket tempat dia tinggal atau sekedar bawa gift buat dia. Semua itu gue lakuin agar apa yang dia tunggu selama ini punya arti. Gue jadi terbiasa masuk dari satu bus ke bus lain, ketiduran di Masjid sampe shubuh karena nggak ada bus lewat, atau sekedar jalan kaki di sepanjang trotoar. Semua itu demi satu alasan; bertemu.

Setelah mengalami beberapa hal diatas, pikiran gue perlahan terbuka, kalo jarak tuh nggak selalu jadi pemisah, tapi juga bisa jadi hal yang mendekatkan. Misalnya, kita hanya bisa melihat dengan jelas sebuah objek dari jarak tertentu, karena ada beberapa objek yang nggak bisa kita lihat dari jarak yang terlalu dekat. Maka, “jarak” itulah yang bikin kita tahu seberapa jauh perjuangan kita untuk bisa bersama.

Ngerti nggak? Gue sih enggak.

Karena terpisah jarak, kami jadi nggak pernah lepas dari ponsel. Satu satunya hal yang bisa membuat kami merasa dekat adalah selalu jaga komunikasi dari balik telfon genggam. Lucu rasanya pernah berjauhan namun terasa dekat. Karena mereka yang berdekatan pun tak jarang merasa jauh.

Tapi, kenyataan nggak selalu berjalan sesuai yang diharapkan. Kadang kita terpaksa mundur dan menyerah saat kita nggak mampu berjalan lebih jauh karena perjuangan apapun selalu ada batasnya. Tak lama setelah dua tahun jaga kepercayaan masing masing, gue menyerah, saat mencapai titik dimana gue nggak bisa lagi melihat ujungnya, saat gue nggak pengen lagi tersiksa lebih lama. Gue bener bener ngerasain, hambar bisa jadi perasaan yang menyiksa.

Gue jadi ngerasain, apa yang kami bicarakan selama itu hanyalah sebatas rencana. Nyatanya, kami tak perah benar benar merasa didekatkan. Kami selalu menyalahkan waktu menunggu yang terlalu lama, dan jarak yang terlalu jauh.

Jadi, gue selalu menghargai mereka yang sampai saat ini masih LDR-an. Karena kita nggak tau, seberapa jauh perjuangan mereka demi tetap bersama.