Minggu, 11 Oktober 2015

Jarak


Ara menutup telfon rumahnya, lalu berjalan perlahan menyusuri tangga, hendak masuk kembali ke kamarnya. Ada yang berbeda dari wajahnya. Kedua matanya nyaris tak terlihat, tertutup poni lurusnya. Dia enggan memakai bando merah yang biasa dia pakai, dia enggan orang lain tahu wajahnya begitu pucat karena isak tangis malam itu. Lingkar hitam di rongga matanya seakan menjelaskan apa yang sedang dia perjuangkan. Pipi merahnya tak lagi tampak, yang tersisa hanyalah wajah pucat. Namun, tidak seorangpun tahu akan keadaannya malam itu.

Sesaat setelah menutup pintu kamarnya rapat rapat, dia menghadap ke kasur yang beberapa hari terakhir dibiarkannya berantakan. Barang barang yang ada disekitarnya berserakan, tepat, serupa perasaannya sekarang yang belum juga tertata rapi. Dia hampir terhentak, menahan sesak, lalu tangan kanannya meraih mulutnya, menutupnya dengan erat. Ara terpejam, dan air matanya berlinang lagi, jatuh menyusuri wajah pucatnya. Dia ingin berjalan ke kasurnya, ingin meraih beberapa pil tidur dalam gelas kaca yang tergeletak diatas sprei merah muda. Namun, langkahnya serasa berat, kasurnya serasa jauh, Ara seakan tak mampu melanjutkannya. Dia benar benar menahan sesak yang hebat malam itu. Dia hampir roboh, tulang kakinya seperti tak mampu lagi menahan beban yang dia tahan di pundaknya. Lalu, dengan sesak yang tak kunjung hilang, dia berlutut, kemudian terduduk lemas, tepat membelakangi pintu.

Ponsel Ara menyala, dia meraih ponsel itu dari saku piyamanya. Lalu, pesan itu dia buka, air matanya berlinang makin deras. Dia terpejam kembali, isak tangisnya makin tak bisa dia hentikan, dan ponsel kecilnya jatuh tepat di samping kanannya. Malam itu, waktu seakan berhenti, dan Ara, dia berharap sedang tak berada ditengah tengahnya.

Ponselnya masih dalam keadaan menyala, pesan yang baru saja dia buka tertulis :

Maaf, Ra. Tapi, dia yang selalu ada.


…………

Diatas adalah sepotong cerita tentang seorang wanita yang diputusin pas sedang sayang sayangnya, karena terpisah jarak yang bikin dia nggak bisa selalu ada disamping cowoknya. Sebenernya sih, mau gue lanjutin bikin endingnya tapi pasti kalian kecewa dan besok nggak mau buka blog gue lagi karena diakhir cerita Ara pergi dugem sampe pagi.

Okay, let’s that sink in.

Kita, terutama yang pernah menjalani LDR (Long Distance Relationship) pasti nggak asing sama keadaan Ara diatas. Berjuang bener bener dengan tetep setia berada ditempat yang sama, eh si dia kemana mana. Nunggu si dia nyamperin ke kota, eh si dia masih jalan sama mantan gebetannya di seberang sana.

Okay, kayaknya LDR (Long Distance Relationship) ini nggak perlu gue jelasin artinya apa. Jaman sekarang, ABG mana sih yang nggak tau LDR itu apa. Ditinggal pacar pulang ke rumah orang tuanya beberapa hari aja udah nangis sesengukan dan ngetwit ditinggal LDR.

Nggak jarang ada beberapa orang yang tersiksa ngejalanin hubungan macam ini. Karena, kita pasti ngerasain betul gimana hambarnya ngejalanin hubungan tanpa sentuhan, hambarnya ngobrol tanpa ngerasain hangatnya genggaman tangan, hambarnya berantem tanpa melihat kerutan dahinya didepan mata. Alhasil, kita dipaksa terbiasa dengan kegiatan menunggu, karena emang hanya itu yang bisa pasangan LDR lakuin. Gue sendiri pernah LDR selama dua tahun, gue tahu pasti kegiatan kegiatan dan seberapa gede perjuangan yang harus kami lakuin buat tetep menjaga kepercayaan masing masing. Okay, mungkin bagi beberapa orang, waktu dua tahun LDR itu singkat, karena menurut gue masih banyak pasangan diluar sana yang udah / sedang berjuang lebih lama dari itu. Yah, karena kadar kesabaran orang menunggu tuh beda beda kan ya, dan gue, emang nggak sanggup berjuang lebih lama dari itu.

Dulu gue, si dia, dan mungkin pasangan pasangan LDR pada umumnya, selalu naruh sebuah pola pikir buat dijadiin alasan kenapa kami harus berjuang lebih dari ini. Alasan yang bikin kami sama sama yakin, jika beban dan jarak nggak ada apa apanya untuk kami. Salah satu pola pikir yang menguatkan kami adalah;

Di mata orang setia, jarak hanyalah sebuah angka.

Seberapa jauh kita dipisahkan, selalu ada alasan alasan yang bikin kita harus tetep berjuang untuk bersama.

Dalam dua tahun berjuang di hubungan-jarak-jauh tersebut, sempet bikin gue jadi bagpacker sejati. Gue jadi rajin ngumpulin duit semata buat beli tiket bus atau kereta biar bisa dateng ke kotanya, biar bisa stay beberapa hari di hotel deket tempat dia tinggal atau sekedar bawa gift buat dia. Semua itu gue lakuin agar apa yang dia tunggu selama ini punya arti. Gue jadi terbiasa masuk dari satu bus ke bus lain, ketiduran di Masjid sampe shubuh karena nggak ada bus lewat, atau sekedar jalan kaki di sepanjang trotoar. Semua itu demi satu alasan; bertemu.

Setelah mengalami beberapa hal diatas, pikiran gue perlahan terbuka, kalo jarak tuh nggak selalu jadi pemisah, tapi juga bisa jadi hal yang mendekatkan. Misalnya, kita hanya bisa melihat dengan jelas sebuah objek dari jarak tertentu, karena ada beberapa objek yang nggak bisa kita lihat dari jarak yang terlalu dekat. Maka, “jarak” itulah yang bikin kita tahu seberapa jauh perjuangan kita untuk bisa bersama.

Ngerti nggak? Gue sih enggak.

Karena terpisah jarak, kami jadi nggak pernah lepas dari ponsel. Satu satunya hal yang bisa membuat kami merasa dekat adalah selalu jaga komunikasi dari balik telfon genggam. Lucu rasanya pernah berjauhan namun terasa dekat. Karena mereka yang berdekatan pun tak jarang merasa jauh.

Tapi, kenyataan nggak selalu berjalan sesuai yang diharapkan. Kadang kita terpaksa mundur dan menyerah saat kita nggak mampu berjalan lebih jauh karena perjuangan apapun selalu ada batasnya. Tak lama setelah dua tahun jaga kepercayaan masing masing, gue menyerah, saat mencapai titik dimana gue nggak bisa lagi melihat ujungnya, saat gue nggak pengen lagi tersiksa lebih lama. Gue bener bener ngerasain, hambar bisa jadi perasaan yang menyiksa.

Gue jadi ngerasain, apa yang kami bicarakan selama itu hanyalah sebatas rencana. Nyatanya, kami tak perah benar benar merasa didekatkan. Kami selalu menyalahkan waktu menunggu yang terlalu lama, dan jarak yang terlalu jauh.

Jadi, gue selalu menghargai mereka yang sampai saat ini masih LDR-an. Karena kita nggak tau, seberapa jauh perjuangan mereka demi tetap bersama.

Rabu, 12 Agustus 2015

Tipe Orang Curhat

Dalam lingkar pertemanan, selalu ada satu – dua orang diantara banyak temen yang kita percaya buat dijadiin temen curhat, mungkin bisa lebih. Kita selalu butuh sosok yang selalu ada buat dengerin curhatan kita. Entah dalam keadaan lagi climbing dibawah jurang atau nemenin istrinya melahirkan, kita selalu berharap curhatan kita didengarkan. Nah, tempat curhat ini tuh ada macam macam, dari introvert yang nggak pernah mau curhat ke orang lain kecuali binatang piaraan, curhat di socmed, sampai temen paling rempong yang tiap ketemu orang lain bawaannya curhat mulu. Emang, manusia sebagai makhluk sosial nggak pernah bisa hidup sendirian, dibalik penat yang terkumpul di kepala kita, selalu ada keinginan buat dituangkan ke orang lain, termasuk ke orang terdekat. Kalo udah kayak gini, curhat bisa masuk dalam kategori kebutuhan primer kita : Sandang, pangan, papan, dan curhatan.

Gue sendiri, nggak sedikit temen gue yang curhat sama gue. Bukannya sombong, cuman gue nggak habis pikir, apa coba pencerahan yang bisa diambil dari jomblo menahun kayak gue? Yah, nggak papa sih, mungkin gue dibutuhin jadi teman curhat karena sering patah hati. Emang bener, orang patah hati tuh rentan dijadiin temen curhat karena lebih sering kecewa, lebih sering juga orang pengen belajar dari pengalaman mengecewakan tersebut. Tapi gue bersyukur, seneng juga rasanya masih ada banyak temen yang butuh sama gue. Cuman, terakhir ada pasutri curhat ke rumah gue, kabarnya kemarin mereka udah resmi cerai.

Enggak, bercanda.

Nah, dari pembahasan ‘curhat’ gue malem ini, gue bakal golongin mereka jadi beberapa tipe orang curhat. Kayak apa sih, mereka ini kalo curhat. Tentunya kita juga punya tipe temen curhat yang kayak gini :


1. Curcol

Tipe yang pertama ini suka nggak ngerti waktu dan tempat yang tepat buat curhat. Yah, ada kata colongan dalam curcol. Yang namanya colongan, pencurhat ini selalu ada celah buat ngeluarin curhatan mereka. Misal nih ya, kita lagi nonton bola tengah malem sama temen.

A : “Parah ini, Daley Blind. Dia nggak pernah cocok jadi bek tengah, hancur betul cara bertahannya.”

B: “Iya nih bro, gue juga udah nggak bisa lagi pertahanin si dia.”

A : “Kok elu malah curhat!”

B : “Ya gimane, dia tuh kalo jalan sama gue suka garuk garuk ketek sendiri. Terus tiap makan di warung lesehan, dia bawaannya pengen suapin gue mulu. Tau sendiri kan, di lesehan makan nggak pake sendok.”

A : “………………”


Orang bijak pernah bilang : “curhatlah selagi ada celah.”

Mungkin kata kata dari orang bijak itulah yang jadi pedoman mereka yang sering curcol tanpa kenal waktu dan tempat yang tepat. Lagi naik angkot, curhat. Pesen kopi di café, curhat.


“Mbak, kopi satu.”

“Iya mas.”

“Jangan sampe lupa dikasih gula ya mbak, biar manis. Soalnya baru kemarin saya mengalami pengalaman pahit. Saya boleh cerita?”

“Saya resign aja mas.”


Maka dari itu waktu dan tempat dalam curhatan, penting banget buat kita perhatiin.

Loh bay, emang curhat juga butuh waktu dan tempat yang tepat?

Lah iya dong. Demi mendapat advice yang maksimal, kenalin waktu dan tempat yang tepat tuh sesuatu yang harus kita perhatiin betul. Misal kamu pengen curhat sama temen tapi ternyata dia lagi sibuk. Dia belum bisa dengerin curhatan kamu, tapi kamu paksain terus buat curhat ke dia. Dengan situasi kayak gitu, apa kamu yakin, bakal dapet advice maksimal dari temenmu?

You get the point.

Selain nggak boleh curhat sama temen yang lagi sibuk, kita juga nggak boleh curhat sama temen yang lagi nggak bisa dihubungin. Contoh kecilnya kayak gini :




Biar nggak kejadian kayak gue aja, pas dibales, masalahnya udah kelar.

Oke, balik lagi ke masalah curcol.

Orang curcol ini bro, biasanya kalo lagi curhat tuh nggak bener bener butuh advice. Dia cuman butuh sekedar didengerin biar plong. Makanya kita tiap ketemu orang kayak gini, mereka bawaannya cerita mulu, mau kita kasih advice atau saran juga, dia masih bakal tetep cerita. Dikasih wejangan super dari Simon Pegg juga ya bodo amat.

Nah, sekarang kita udah tau kalo ketemu orang curcol, ya dengerin aja.


2. Selalu cerita hal yang sama.

Kayak gini sering banget kita temuin dalam lingkar pertemanan kita. Selalu ada orang yang tiap curhat selalu ceritain itu itu aja. Ya bukannya apa, soalnya kita yang dicurhatin suka sebel, sebenernya advice yang kita beri di hari hari sebelumnya tuh dia apain? Kita ngomong panjang lebar, saranin pelan pelan, eh besoknya lagi masih cerita hal yang sama. Seakan saran saran yang kita kasih ke dia nggak pernah bener bener didengerin. Yah namanya juga sahabat, mau ngapain lagi selain harus sabar.

Mungkin kamu, kalo ngerasa punya sikap kayak gini ke temen curhat kita, boleh tuh balik ngertiin ke orang yang kita curhatin. Hal yang berharga dari curhat tuh bukan cuman saran, tapi juga waktu. Nggak selamanya kamu bakal didengerin, nggak selamanya temen curhatmu selalu ada buat ngasih saran ke kamu. Kalo udah jengah sama cerita yang itu itu, kamu bakal kehilangan hal penting yang disebut waktu. Coba hargain orang orang yang mau nawarin telinga, tanpa cerita yang itu itu aja, kita pasti juga cukup dewasa buat ngambil langkah supaya tau harus apa.

A : “Hei, coba tebak siang ini gue papasan sama siapa?!”

B : “Dia lagi?”

A : “Iya, hehe.”

B : “Oh.”

A : “Cuman sekarang udah beda.”

B : “Oh ya? Bedanya apa?”

A : “Gue udah nggak peduli.”

B : :)


3. Suka ikutan curhat.

Tipe nomor tiga ini nggak beda jauh dari mereka yang curcol. Cuman bedanya, mereka nggak bakal curhat kalo bukan kita yang mulai duluan. Kita yang dari awal pengen nyelesaiin masalah dengan cerita ke dia, eh dia nyelipin curhatan dia sendiri yang masalahnya lebih parah. Pada akhirnya, kita jadi saling curhat dan nangis bareng, atau paling ya kita sendiri juga yang ngasih advice buat dia. Masalah yang kita curhatin? Dikacangin, dilupain, dan dikubur dalam dalam.

Lha wong kita yang pengen curhat, eh dia yang nangis.


4. Batu

Batu disini maksudnya bukan praktik curhat sama batu nisan atau nyembah berhala, tapi ngasih saran atau dicurhatin sama orang yang keras kepala. Dikasih advice pelan pelan yang menurut kita lebih bijak, eh dia tetep ngeyel dan ngelakuin tindakan bodohnya. Orang orang nggak sabar kayak gini yang rentan balik lagi ke kita sambil nangis dengan masalah kemarin.

“DIBILANGIN JUGA APA, AMPLAS BESI!”



5. Curhat di social media.

Ini sempet gue bahas di twitter tadi malem. Dulu nih, di social media seperti facebook, banyak banget anak anak yang ngerengek ceritain masalah pribadinya dengan cara update status. Dulu gue mikir, ini mereka ceritain masalah masalah pribadi, dan biarin orang orang di seluruh dunia tau. What a mess! Sampe gue sadar, gue punya blog dan sering banget curhatin masalah pribadi gue disini.

Goblok bener gue.

Cuman, gue nggak begitu peduli sama masalah orang orang yang diupdate di social media. Entah mereka mau ngeluh soal kambingnya beranak kerbau atau ada kudanil yang bisa bahasa Inggris, gue nggak peduli. Soalnya, sekarang udah mulai banyak ABG ABG labil yang sehabis curhatin masalahnya, pas dikomentarin dikit malah emosi lalu bilang :

“TAU APA SIH LU, SAMA HIDUP GUE!”

Nah, kayak gini nih orang orang yang harus diospek sama Dajjal. Kalo ngerasa keganggu pas dikomentarin, ya jangan ngasih daging sama netizen yang bisanya cuman komentar. Mereka itu komentarin masalah kita, karena kita duluan yang ngeluh di socmed. Makanya gue jarang curhatin masalah pribadi ke social media, soalnya orang selalu punya bahan buat dikomentarin. Tapi sekalinya gue curhat di socmed, gue selalu siap buat dikomentarin, di-judge, entah orang mau bilang kayak apa.






Untuk itu, ego selalu dibutuhin. Ego tuh nggak selalu punya arti negative kok, kadang kita butuh ego biar nggak cenderung ngurusin hidup orang lain. Untungnya apa buat kita? Ya biar kita nggak disangka orang yang sukanya turut campur sama urusan orang. Mereka mau ngerengek ngerengek di socmed juga, dengan porsi ego yang cukup, kita nggak bakal peduli sama urusan mereka sehingga pikiran kita lebih damai rasanya. Namanya juga socmed, akan selalu jadi wadah masalah maupun sumber masalah. Kita yang udah cuek, nggak mungkin jadiin masalah. As simple as that.

Tapi nih ya, curhat di socmed nggak ada salahnya juga loh sebenernya. Dulu banget, gue pernah nonton film “Malaikat Tanpa Sayap.” Selain rambut Adipati Dolken yang masih gondrong, ada dialog dalam film itu yang melekat banget di kepala gue :

Kadang tuh temen di dunia maya, lebih real dari dunia nyata.

Dari sini gue sadar, curhatan di socmed tuh bukan berarti nggak ada yang mau dengerin di dunia nyata, tapi mungkin emang temen temen di friend-list nya doang yang bisa ngertiin. Kan nyesek tuh, dikelilingin orang orang yang mau mendengar namun tak mau mengerti. Dan, kita yang curhat di socmed juga pasti kadang ngerasa plong, siapa tau kan ya yang baca bisa doain juga biar cepet kelar masalah kita.

Intinya, semua mencari bahagia dengan cara masing masing, dan selalu ada pengusik dengan jalur mereka masing masing. Kalo ada yang nge-judge, comment nggak enak dari apa aja yang kita tulis, anggep aja belalang sembah kurang kerjaan.

Okay, mungkin segitu aja dulu tulisan gue tentang tipe orang curhat. Nggak gue posting malem minggu kayak biasanya, karena Barclays Premier League udah mulai. Nah, misal elo pengen curhat ke gue, bisa add id LINE gue : baywija

Curhat aja tentang apapun, pasti gue bales. Kalo nggak ada kerjaan. Tapi terakhir sih ada dedek dedek SMA curhat tentang cowoknya ke gue, kabarnya sekarang dia hamil di luar nikah.

Enggak, bercanda. Add aja terus curhat santai, nggak papa. Gue bantu sebisanya.

Dari tulisan gue diatas, gue harap kita lebih ngerti caranya curhat yang bener sekaligus jadi temen curhat yang baik, tapi ya apalah arti curhat-able kalo nggak pacar-able. Kenyamanan cuman ada di pundaknya, bukan di hatinya.

Gue Bayu Wijanarko, terimakasih!

Selasa, 07 Juli 2015

Cech Menyeberang Ke Rival Sekota, Pilihan Tepat?

“Sekian lama berjuang bersama, akhirnya diduakan juga."

Mungkin kalimat itulah yang paling tepat menggambarkan situasi Petr Cech setelah kembalinya Courtois ke Stamford Bridge dari Vicente Calderon awal musim 2013/2014. Courtois yang tampil impresif selama masa peminjamannya di Atletico Madrid, seakan menjawab segala keraguan jika dia tak pantas bermain untuk tim sebesar Chelsea.

Courtois sejatinya memulai karir junior sebagai bek kiri, namun saat dia bergabung dengan Racing Genk di umur 7 tahun, dia tumbuh dan berkembang menjadi kiper. Sampai pada akhirnya, kesempatan besar datang untuk Courtois. Belum genap umur 17 tahun (16 tahun 341 hari) dia melakukan debut pertamanya sebagai pemain professional melawan Gent pada tanggal 17 April 2009. Sejak hari itu, karirnya berjalan baik. Dia menjadi sosok penting saat Genk mengunci gelar Belgian Pro League musim 2010-2011. Saat itu juga, dia menerima penghargaan Goalkeeper of The Year dan Genk’s Player of The Year karena hanya kebobolan 32 gol dari 40 penampilan dan sukses membuat 14 cleansheet bersama Genk.

Emas di sudut paling jauh, masih akan terlihat terang. Chelsea mencium talenta hebatnya. Pemain yang tampil gemilang di Liga Belgia di usia sangat muda, membuat Chelsea tertarik mendapatkan jasanya. Akhirnya, pada Juli 2011 Chelsea mengamankan tanda tangan Courtois dalam kesepakatan kontrak selama 5 tahun. Namun karena minimnya pengalaman bermain di level tinggi liga besar Eropa, dan umurnya yang masih sangat muda, Courtois sudah dipinjamkan ke Atletico Madrid setelah hanya beberapa minggu setelah bergabung dengan Chelsea. Chelsea berharap dia bisa diambil kembali saat sudah berkembang.

Lalu, apa harapan Chelsea berjalan dengan baik?

Tepat. Setelah hengkangnya David de Gea ke Manchester United, Courtois mengenakan nomor punggung peninggalannya. Bersaing secara sehat dengan kiper Atletico yang lain, Sergio Asenjo, Courtois selalu melakukan tugasnya dengan baik. Debutnya bersama Atletico berbuah kemenangan besar 4-0 atas Victoria S.C dan 3 hari setelahnya berhasil cleansheet dalam laga imbang tanpa gol melawan Osasuna di Liga Spanyol. Puncaknya, Atlecico mencapai final UEFA Europa League 2012 dan berhasil menjuarainya setelah mengalahkan Bilbao di All Spain Final dengan hasil telak 3-0. Tepat, Courtois lagi lagi cleansheet.

Tak habis disitu, memasuki musim 2012-2013 bagai buah simalakama bagai Chelsea. Chelsea harus berhadapan dengan pemainnya sendiri saat Piala Super Eropa 2012 di Monaco. Dan apa hasil yang diraih Chelsea? Courtois dkk. berhasil membuyarkan harapan Chelsea untuk membawa pulang trofi Piala Super ke London karena kalah telak 4-1.

Hari demi hari, bulan demi bulan, Chelsea lagi lagi harus bertemu Atletico dengan Courtois andalannya di semifinal Liga Champions 2013-2014. Courtois lagi lagi sukses memulangkan Chelsea ke London setelah menyingkirkan mereka di semifinal.




I worth it.

Mungkin begitu pikir Courtois setelah tampil gemilang melawan klub yang meragukannya.

Chelsea tak ingin meminjamkannya terlalu lama. Setelah di laga kancah Eropa sebelumnya Courtois berhasil ‘memulangkan’ Chelsea ke London, kini giliran Chelsea yang ingin membawanya pulang ke London. Namun saat desas desus rumor itu ramai, Courtois sempat bilang bahwa dia hanya ingin pulang jika menjadi pemain inti di Chelsea. Alhasil, Jose Mourinho memberinya garansi bermain, sampai akhirnya pada juni 2014 Courtois benar benar pulang ke Stamford Bridge. Mourinho mengatakan bahwa dia akan melakukan debutnya di laga pertama Premier League Chelsea melawan Burnley. Meski tak cleansheet, Chlesea berhasil membawa pulang 3 poin bersama Courtois di line-upnya. Laga kedua melawan Leicester, Courtois berhasil cleansheet setelah Chelsea menang di kandang. Semua berjalan baik sampai September 2014, Chelsea memberinya kontrak jangka panjang (5 tahun) yang akan mengikat Courtois sampai 2019.

…………..


Oke, mari istirahat sejenak membicarakan fakta fakta diatas. Artikel ini ditulis bukan untuk membicarakan banyaknya prestasi Courtois, melainkan sosok yang ada dibelakang Courtois saat ini karena memang itulah keadaannya. Mari membicarakan transfer Courtois dari sudut pandang yang lain. Mungkin tak layak jika kita sebut sudut pandang orang yang dirugikan, namun saya rasa pihak yang dirugikan adalah Petr Cech. Dia banyak kehilangan menit bermain karena penampilan Courtois yang nyaris sempurna. Yak, untuk waktu yang tak sebentar, Cech menghabiskan musim 2014/2015 dibelakang Courtois.



People come and go, they said.

Ada yang datang, ada yang pergi. Fans Chelsea tidak mungkin melupakan apa saja yang dipersembahkan Petr Cech kepada mereka selama 11 tahun pengabdiannya di Chelsea. Dari masa masa Cech bermain tanpa pelindung kepala, sampai sekarang pelindung kepalanya yang tak juga lepas, dia sudah memberi banyak trofi kepada fans dan satu trofi yang sangat sangat sangat diimpikan Roman Abramovich sampai membuat Abramovich buta dengan memecat banyak pelatih karena saking menginginkannya trofi itu. Benar, trofi Liga Champions. Cech sempat mempersembahkan trofi Liga Champions dengan peran pentingnya di laga itu, salah satunya saat Cech melakukan penyelamatan oleh penalty mantan pemain Chelsea, Arjen Robben, dan tampil gemilang di babak adu penalty sampai akhirnya berhasil membuat Bayern harus kehilangan trofi UCL di kandang sendiri.



Setelah datangnya Courtois, seakan hal hal magis itu hilang. Dia menjadi pilihan kedua karena Courtois tampil gemilang. Saya sendiri sebagai fans Chelsea yang telah melihat banyak masa sukses Cech merasa janggal saat melihatnya menghangatkan bangku cadangan. Since that day, Stamford Bridge will never be the same.

Satu musim melihat Cech banyak menghabiskan waktu di bench daripada di lapangan membuat saya sedikit frustasi, lalu berandai andai jika mimpi buruk terjadi, salah satunya menerima mentah mentah spekulasi dan rumor jika Cech pindah ke klub lain.

Believe me, bruh. It’s hard to let go someone when they give you too much reason to stay.

Namun, musim 2015/2016 belum bergulir, apa yang saya takutkan terjadi. Arsenal resmi mengumumkan bahwa mereka berhasil mendapatkan tanda tangan Cech dalam kontrak 4 tahun dengan biaya transfer sekitar 11 juta pounds.



Saya ngerasa kayak.. “OH MY DEAR GOD, WHY?!” dari banyaknya klub besar yang sedang membutuhkan kiper, kenapa harus pindah ke Arsenal? Melihat pindahnya pemain favorit ke rival sekota, berasa lebih sakit kayak ditinggal pas lagi sayang sayangnya. Lebih tepatnya, berasa kayak melihat pacar kita yang udah 11 tahun bersama, dipacarin tetangga sebelah. Okay, memang karma itu ada. Fans Chelsea pernah merasa bangga setelah setahun sebelumnya Fabregas didatangkan dari Barcelona. But wait, apakah fans Arsenal patut marah? Tunggu dulu, tak ada transfer langsung dari Arsenal-Chelsea saat Cesc Fabregas pindah ke Stamford Bridge, itupun Wenger juga sempat bilang jika tak ada lagi tempat untuk Fabregas di Arsenal. Jikalau Wenger patut kecewa, tentu itu sudah masa masa saat Fabregas pindah ke Barcelona, bukan saat pindah ke Cheslea. Jadi, saya fans Chelsea yang mengetahui Fabregas didatangkan, merasa hal itu cukup wajar dan tak patut diperdebatkan.

And then shit happens..

Cech benar benar menyeberang ke rival sekota. Berasa kayak nggak bisa berbuat apa apa. Mau marah marah, tertelan fakta bahwa Cech emang udah nggak kepakai lagi di Chelsea, keadaan yang kurang lebih sama seperti apa yang dikatakan Wenger saat transfer Fabregas. Satu satunya yang membuat saya dan sebagian besar fans Chelsea tak terima dengan transfer itu ternyata hanya karena rivalitas belaka.

Namun, apakah Cech sejatinya tepat memutuskan bermain untuk Arsenal?

Patut dibahas. Setelah sejak awal perpindahannya terasa janggal untuk fans Chelsea, kami juga harus mulai membuka mata untuk tidak melihat suatu hal dari satu sisi saja. Saat ini, mungkin banyak sekali yang menganggap Cech sebagai ‘pengkhianat’ karena menyeberang ke klub yang telah lama mereka benci. Bahkan, ada beberapa fans Chelsea berotak dangkal yang memberikan ancaman mati kepada Cech. Itulah sedikit contoh dari sekian fans yang hanya melihat dari satu sisi.

Bagaimanapun juga, Cech dirasa cukup tepat pindah ke Arsenal dan ada alasan baik kenapa Cech memutuskan untuk menyeberang kesana. Saya yang telah melihat banyak laga bersama Cech di dalamnya, tentu sulit merelakannya pergi, apalagi ke tempat rival sekota. Namun, keputusan terbaik akan selalu saya hargai. Bukan mustahil jika ini adalah langkah awal untuk Cech menjadi legenda Arsenal. Coba lihat Van der Sar, dia pindah ke Manchester United saat umurnya tidak muda lagi, dan lihat apa yang telah dia persembahkan untuk United. Di pihak Cech juga, kiper umur 33 tahun masih bisa mempunyai karir yang sangat panjang dan gemilang.

Tentunya saya dan mungkin juga semua fans Chelsea di seluruh dunia, tak ingin melihat Cech ‘mati suri’. Tentu di lubuk hati yang paling dalam, kita masih ingin melihat kehebatan Cech tiap pekan.

Sampai bertemu di Community Shield, Cech!