Sabtu, 06 Desember 2014

Tentang Hati Yang Kita Sebut Rumah

"Jadi sebenernya The Judge itu diem diem bakal bikin kita ngerasain banget apa yang dirasa Robert Downey juga, gimana konflik batinnya dia sama bokapnya, gimana cara nyikapin keras kepala bokapnya, karena hal hal kayak gitu juga nggak jarang kita alamin sama orang tua kita sendiri."

Trian masih diam sambil terkesima menatapi Nella. Penjelasan tanpa koma darinya bikin dia sadar, memandangi orang bicara tak pernah seindah ini sebelumnya. Apalagi, hal tak sepenting apapun, bakal terasa penting jika dijelaskan dari orang yang disuka.

"Jadi, kamu masih belom nonton The Judge?" Tatap Nella dalam dalam.

"Be.. Belom sih, ntar abis pulang ini gue nonton kok, pasti." Balas Trian sambil mencabut flashdisk dari laptop Nella.

Nella tersenyum, melihat keluar dari balik dinding kaca. Dia menghela napas.

Malam itu berhujan, hujan yang tak cukup deras, namun cukup lama untuk mengguyur seluruh kota. Dan disitulah Nella dan Trian sedang meluangkan waktu untuk sekedar bertemu, menghilangkan penat dari tugas oleh kampus masing masing dengan ngopi bersama, ngopy film bajakan juga, tentunya.

Trian ini udah lama deket sama Nella, durasi waktu dia PDKT cocok banget buat ngitung kapan Trian harus nembak. Tapi, mereka belom juga jadian. Karena apa? Ya gitu, sih. Selalu ada kejanggalan dibalik gebetan yang tak kunjung dalam genggaman. Nella masih suka upset banget jika mantan gebetan dia dateng pergi seenaknya. Mantan gebetan Nella ini namanya Dika. Dari namanya aja, kita udah bisa simpulin kalo dia tipe cowok player yang nggak pernah bisa ngasih komitmen. Gue aja yang nulis cerpen ini juga masih bingung, kenapa cowok berengsek gampang banget dapetin cowok baik, disakitin pula.

Nah, keadaan itu pula yang bikin Trian serba salah. Orang yang dia suka ternyata masih ngarepin mantan gebetannya, Trian yang suka dicurhatin soal masalah itu otomatis jadi 'wadah' disetiap keluh kesah Nella. Jadinya, Trian yang nyimpen perasaan ke Nella udah tentu terjerat di friendzone Nella atau lebih tepatnya, curhat-zone. Alhasil, hubungan mereka berdua nggak berjalan kemana mana.

"Kamu.. Gimana sama Dika?" Tanya Trian sambil mengaduk kopinya.

"Gimana apanya?"

"Ya.. Gimana perkembangannya, udah maju jalan apa masih diam ditempat, mungkin?" Trian mengerutkan keningnya.

Nella mengalihkan pandangan dari muka Trian, sedikit melamun, dia lalu menyesap kopi di cangkir kecilnya. Sementara itu, hujan makin deras.

"Hehe, gimana ya.. Aku.. Udahlah, buat apasih bahas cowok kayak dia." Jawab Nella terbata bata.

"Nggak kok, nggak. Ya cuman ngerasa peduli aja kalo.."

"Cuman.." Nella memotong pembicaraan.

"Cuman gimana?"

"Cuman ya gitu, aku benci kalo dia dateng gitu. Tapi tiap ngobrol sama dia.. Diem diem hati ini nyaman, ngerasa adem aja.

"Nella mengaduk aduk kopinya dengan tatapan kosong.

"Tapi pas lagi adem ademnya, dia ngilang lagi."

Nella berhenti mengaduk. Dia terdiam.

"Ya mungkin kalo kamu bisa omongin.."

"UDAH!" Nella memotong omongan Trian lagi, sambil mendentingkan sendok di cangkir kopinya.

"Masih ada banyak hal yang bisa kita bahas, makna tersirat dari nyinyiran Robert Downey tadi, misalnya." Sambung Nella kembali dengan wajah manyun.

Melihat wajah itu di depan matanya, Trian, dia jatuh cinta lagi, dan lagi.

Mereka kembali berbincang ringan, derai hujan malam itu melenyapkan tawa mereka. Nella nggak tau, dibalik hujan yang berjatuhan, masih ada yang jatuh di depan matanya. Benar, hati Trian.

............................

Dua hari setelah malam itu, Trian sedang duduk di Cafe tempat biasanya dia ngabisin waktu buat sendiri. Malam itu, dia sedang ngerjain tugas tentang analisis kenapa cowok jelek bisa dapetin cewek cantik tapi cewek jelek susah dapetin cowok ganteng. Enggak, bercanda. Dia ngerjain tugas sendirian, soalnya temen temen seangkatan dia udah pada wisuda. Trian terlihat serius, membenarkan posisi kacamatanya tiap kali akan menulis, lalu menenggak air mineral di mejanya sembari memandangi kertasnya tiap kali usai membubuhkan tanda titik di tulisannya.

"TUNG!"

Bunyi tanda chat masuk di ponsel Trian.

Trian berdebar, dia mulai khawatir jangan jangan itu chat dari dosen yang ngasih tugas dan ngumumin tugas harus dikumpulin detik itu juga. Trian menenggak air mineral itu lagi, lalu mengambil ponsel dari saku kemejanya dan membuka chat itu perlahan.

"Trian kamu dimana?"

Ternyata chat dari Nella, Trian makin berdebar. Dia ngerasa kabar tugas yang dia kerjain harus dikumpulin detik itu juga, jauh lebih menengangkan daripada melihat chat Nella yang terlihat mengkhawatirkan. Sebelum sempat membalas, Trian lalu menaruh ponselnya diatas meja karena saking berdebarnya. Dia menatap kosong kedepan, mengira ngira apa yang sebenernya terjadi sama Nella. Trian nyoba inget inget satu hal penting dari Nella : Nella itu kalo lagi galau, suka jalan diatas rel dan minta foto dari belakang, biar fotonya bisa dia kasih quote. Trian khawatir, jangan jangan sekarang kaki Nella lagi kejepit rel dan bentar lagi ada kereta listrik lewat. Trian terpejam, membuang jauh jauh imajinasi liarnya lalu membalas chat dari Nella.

"Aku di Cafe tempat biasa nulis. Kamu kenapa Nell?" Balas Trian singkat.

"Nggak papa, aku lagi pengen cerita aja. Boleh kesitu?"

"Boleh boleh, tapi aku lagi ngerjain tugas, sambil ngerjain boleh?"

Balas Trian lagi, walaupun dia sendiri tau dia tidak pernah bisa mengalihkan pandangan saat Nella berbicara.

10 menit setelahnya, Trian melihat sosok berbaju biru muda dengan lengan panjang, rambutnya agak basah pertanda habis kehujanan. Itu Nella, dia masih celingukan dan sibuk nyari dimana meja Trian berada. Celingukan Nella terhenti saat melihat Trian melambaikan tangannya. Tak berapa lama, Nella menghampiri.

"Maaf, lama ya?" Ucap Nella setelah duduk, sambil mengusap keningnya yang masih basah oleh air hujan.

"Loh, lama apanya? Aku kan udah disini sendirian dari tadi." Jawab Trian sambil sedikit tertawa.

"Hehe.. Maaf."Nella tersenyum, tapi matanya tak memandang Trian seperti biasanya, tanda bahwa dia menyimpan duka dibalik senyum manisnya.

"Nella kenapa?" Tanya Trian.

"Nggak papa, yan. Aku cuman.. Aku cuman nggak tau aja musti cerita gimana. Aku cuman nggak pernah aja ngerasa secapek ini." Nella masih memandang kosong.

"Kenapa Nell? Si.. Dika?"

Nella mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya.

Trian terdiam.

Malam itu juga, titik lelah Trian juga berada diambang batasnya. Entah berapa kali dia merasakan sakit, tiap kali Nella meminjam pundaknya demi menangisi orang lain. Entah berapa kali Trian mengobati lukanya pelan pelan, tiap kali menyadari orang yang dia sayang menangis karena orang lain. Melihat Nella yang semakin terpuruk, Trian menyadari sesuatu, bahwa melihat orang yang disayang bahagia dengan orang lain memang sakit, tapi lebih sakit lagi melihatnya tersakiti oleh orang lain.

"Aku nggak tau harus gimana." Nella melanjutkan pembicaraannya.

"Dia tuh suka seenaknya! Apa yang dia omongin seakan aku yang butuh dia! Rasanya pengen ungkapin semuanya, pengen tanya kenapa dia kayak gini! Aku cuman takut.. dia pergi, nggak singgah lagi."

Nella menundukkan kepala, wajah cemasnya membuat Trian tak bisa berbuat apa apa. Yang tersisa dari Trian tak lebih hanyalah wajah ingin menolong, tapi tak dapat berbuat sesuatu, tak sejengkal pun dari kursi tempat dia duduk.

"Aku nggak bisa terus kayak gini.." Keluh Nella.

Iya, akupun begitu.

Kata Trian, dalam hati.

"Oh, hei! Gimana kalo kita nonton besok?" Trian mengalihkan pembicaraan.

"Nonton?"

"Kita tuh udah lama kalo jalan kesitu situ aja, paling ngopi doang. Ada film lucu juga. Itung itung kan aku juga mau ngelupain tugas tugas ini bentar, kamu juga.. kayaknya udah bener bener pengen lupain dia." Jawab Trian singkat, padahal sih niatnya emang cuman bikin Nella lupa sama Dika.

"Iya deh." Nella mengangguk pelan.

........................

Angin malam itu terhembus lebih tenang, obrolan obrolan ringan yang mereka bicarakan, membuat senyum Nella perlahan berkembang. Trian mengerti benar jika senyum itu satu satunya yang harus dia pertahankan sampai sekarang. Namun, yang belum Trian mengerti, gimana cara dia menyikapi saat tangis Nella gara gara Dika itu datang lagi.

Siang hari setelah malam itu, Trian sengaja beli tiket nonton duluan biar malemnya nggak bikin Nella ngantre juga. Tips ini Trian baca dari vampirgaul.blogspot err.. Enggak, bercanda. Setelah dapet tiket, dia memandanginya, lalu menyelipkan di dompetnya, yang disitu juga terselip harapan bahwa Trian ingin segera mengakhiri omong kosong itu, pengen ungkapin semua dan sekaligus tanyain gimana perasaan sebenarnya Nella ke dirinya.

Malam harinya, Trian sudah mengenakan pakaian serapi mungkin, parfum sewangi mungkin, dan menyiapkan duit sebanyak mungkin. Dia mencabut ponsel dari charger-nya, mengetik pesan singkat apakah Nella udah siap dijemput.

"Gimana? Udah siap, kan?"

"Umm.. Yan, kayaknya kapan kapan aja deh ya. :("

"Loh kenapa?"

Trian mulai panik, yang lebih bikin panik lagi, dia udah beli tiketnya. Bukan masalah harga, tapi skenario yang dia buat untuk ngomong

Aku tuh nggak bisa bikin cewek nunggu.

ke Nella, gagal terlaksana.Nella kemudian membalas :

"Malem ini Dika ngajak aku jalan, itu berarti kesempatan aku buat nanyain dia apa maksudnya semua ini. Aku bakal mastiin, dia sebenernya mau ngasih aku kepastian apa enggak. Kita, masih bisa nonton besok besok, kan? Aku bayarin. Aku mau jalan sekarang, doain aku, yan!"

Trian diam mematung seusai membaca pesan singkat itu. Dia baca ulang ulang, berharap itu hanya bercandaan. Trian kemudian terkulai lemas dikasurnya, skenario dia akan rencana ungkapan perasaan ke Nella, malah diubah drastis menjadi skenario akan ungkapan Nella ke Dika. Cinta, kadang selucu ini.Trian masih memandang langit langit kamar, sekelabat senyum Nella terlukis diatas kepalanya. Trian teringat sesuatu, jika selama ini Trian hanya sebatas teman, teman berbagi duka. Dia memaklumi apa yang barusan dilakukan Nella terhadapnya. Dalam hubungan semenyebalkan friendzone, yang namanya teman tak dapat berbuat apa apa. Meskipun ingin menyangkal, pikiran

Emang aku siapanya dia?

Dapat membantah dengan sendirinya.

Trian mulai teringat, dia ini, emang bukan siapa siapa.Trian menyadari, dari awal, deketin Nella sama aja masuk rumah yang masih berantakan. Dari awal, dia udah mulai nggak nyaman setelah tau Nella masih deket sama Dika. Setelah tau rumah yang akan dia singgahi masih belum rapi. Pada awalnya, Trian mulai memaklumi, Trian tau bahwa mendekati cewek yang 'rumah' nya masih berantakan, caranya dengan membantu merapikan, atau pamit pergi karena tak nyaman. Setelah selama ini apa yang dirapikan sendiri oleh Trian malah ditendang kaki pergi Nella, nampaknya memang ini saatnya Trian berhenti dan pamit pulang.

Pulang ke tempat yang tak ada siapa siapa disana. Tak ada Nella, tak ada kenangan tentang Dika.

Pikir Trian.

Dia kemudian berjalan ke mall deket rumahnya, tempat dia akan nonton bareng Nella. Malam itu, Trian memutuskan ingin menonton film yang mereka berdua rencanakan, sendirian.

Di dalem box office malam itu, yang terlihat hanya wajah datar Trian yang diterangi cahaya dari layar lebar. Tangan kanannya masih menggenggam tiket yang harusnya untuk Nella. Joke segar dari film lucu yang Trian dan Nella rencanakan, benar benar serasa hambar.

Malam itu, Trian mengakhiri semuanya.

.................

Nah. Dari sepenggal cerpen diatas, cerita kayak gitu pasti udah nggak asing lagi di telinga kita, atau bahkan kita pernah mengalami. Kita tau rasa sakitnya deketin orang yang masih labil. Udah diperjuangin, ternyata balikan lagi sama mantannya. Udah dibaik baikin, ternyata masih suka inget mantan calon gebetan yang suka pergi gitu aja sebelom sempat dimiliki. Perihal rumah yang masih berantakan, memang sangat menyebalkan. Kadang, kita suka ngelakin apa yang dilakuin sama Trian, memutuskan untuk membantu merapikan rumah itu agar dapat ditempati berdua. Tapi apa daya, kadang kenyamanan yang mantan beri, tak akan sebanding dengan kenyamanan sementara yang kita bikin buat si dia. Akhirnya, dia juga bolak balik lagi ke mantan. Hal kayak gini, bisa terjadi ke siapa aja. Maksud gue, rasa nyaman bisa dateng bukan cuman dari mantan pacar, tapi juga dari mantan calon gebetan yang belom sempat dia pacarin.

Loh, Bay. Hal apa dong, yang bikin dia ngarep mulu? Kan belom sempet dipacarin?

Rasa penasaran. Orang yang masih dihantui penasaran, kepala yang terpenuhi pertanyaan kenapa dan kok bisa, bakal jadi labil dan bisa ninggalin kita yang deketin gitu aja. Kita akan terus ditinggalin, selama orang yang kita deketin masih terus ngikutin rasa penasarannya.

Gue sendiri, pernah dipaksa menyerah sama keadaan keadaan kayak gini. Gue pernah nyesek sendiri saat apa yang gue perjuangin tak berarti apa apa pas dia inget mantan gebetannya. Gue pernah ngerasain gimana sakitnya, saat perhatian kita ke dia sia sia, pas diem diem dia ngeluhin soal mantannya di social media. Gue berkali kali ingin membantu merapikan rumah yang belum rapi itu. Tapi gue mengerti, perihal rasa nyaman, tak semua orang bisa memberi. Analoginya, kita pasti pernah punya temen yang rumah atau kamar kostnya berantakan, dan dia masih nyaman nyaman aja ngeliatnya. Walaupun kita sebagai 'tamu', bakal ngerasa risih. Nah, gue disitu nggak pengen bikin mantan calon gebetan gue risih sama gue gara gara saking pengennya gue ikut ngerapiin 'rumah'nya, padahal dia nyaman dengan itu. Gue nggak mau mencampuri hal pribadi yang bikin dia nyaman, walaupun yang gue liat, adalah harapan harapan yang berserakan.

Tapi Bay, gimana dengan pacar gue yang masih inget mantannya?

Itu berarti orang yang lo pacarin udah ngebiarin lo tinggal di rumahnya yang masih berantakan. Lo udah masukin hati yang rentan karena inget mantan. Gue, pernah jadi orang kayak gitu. Ngebiarin hati orang masuk padahal hati gue sendiri masih belom sepenuhnya bisa lupain mantan gue. Alhasil, ya gue malah nyakitin orang baru demi orang yang lama.

Kalo gitu, Bay. Gimana cara kita nyikapin orang kayak gini?

Lo musti sadar, kalo emang hatinya masih bisa lo bantu buat ngelupain kenangannya, lo bisa terusin deketin dia. Hal kayak gini, tinggal seberapa kuat hati kita sendiri aja. Kan nyesek tuh kalo udah susah susah diperjuangin, dia belom move on juga. Analoginya, kita udah susah susah narik dia kedepan, eh kenangannya ngelempar dia ke belakang. Jadinya apa? Ya kita malah cuman capek sendiri perjuangin orang kayak gini.

Terus, gimana caranya kita tau seseorang pantes diperjuangin apa enggak?

Ada dua hal yang musti kita tau kalo seseorang itu pantes diperjuangin apa enggak. Pertama, lo musti tau dia ini juga mau perjuangin elo apa enggak. Hal ini bisa kita tau kok, dari hal hal kecil. Misal, dia sempetin ngabarin lo, bukan ngabarin sesempatnya. Atau juga saat dia mau luangin waktu buat elo disaat mau ketemu. Juga bisa enggaknya dia ngehargain saat bersama lo dengan cara nggak batalin date seenaknya kayak apa yang dilakuin Nella ke Trian barusan. Karena, hal paling mudah saat memperjuangkan seseorang tuh saat si dia mau memperjuangkan kita juga.

Kedua, dalam kasus ini lo musti sadar dimana posisi elo sekarang. Kalo masih dalem friendzone doang, otomatis lo pengen keluar dari zona itu. Kalo kita lama lama difriendzone atau di curhat-zone sama dia, kita juga bakal dipaksa nyerah saat perjuangin seseorang yang cuman ada pas berbagi sedih aja, dan bisanya cuman pinjem pundak kita buat nangisin orang lain doang.

Nyesek, men.

.........................

So, perihal hati yang suka kita sebut rumah, perkara kayak gini sebenernya nggak mudah. Kita musti mikirin bener bener dalam posisi apa kita sekarang. Terkadang, soal cinta yang rumit, suka seenaknya nempatin kita di posisi yang sulit.

Kita musti tau, pentingnya nggak bikin orang lain risih saat nyaman dengan rumahnya sendiri, seberantakan apapun itu. Karena apa, terkadang kita kekuh bantu ngerapiin rumah orang yang masih berantakan, cuman karena kita risih akan hal itu juga. Jadinya, gebetan bakal luput juga. Rumah rumah dia, kok elo yang risih.

Hal itu yang bikin kita mutusin, kita bakal ikut ngerapiin atau pamit pergi gitu aja.

Bagaimana ingin membawa pulang seseorang, disaat rumah kita masih berantakan.

Yak, segitu aja tulisan gue malem minggu ini. Gue Bayu Wijanarko, terimakasih!

..........................

Pertanyaan terakhir, Bay. Kenapa elo masih jomblo?

Bukan urusan elo.

2 komentar: