Selasa, 07 Juli 2015

Cech Menyeberang Ke Rival Sekota, Pilihan Tepat?

“Sekian lama berjuang bersama, akhirnya diduakan juga."

Mungkin kalimat itulah yang paling tepat menggambarkan situasi Petr Cech setelah kembalinya Courtois ke Stamford Bridge dari Vicente Calderon awal musim 2013/2014. Courtois yang tampil impresif selama masa peminjamannya di Atletico Madrid, seakan menjawab segala keraguan jika dia tak pantas bermain untuk tim sebesar Chelsea.

Courtois sejatinya memulai karir junior sebagai bek kiri, namun saat dia bergabung dengan Racing Genk di umur 7 tahun, dia tumbuh dan berkembang menjadi kiper. Sampai pada akhirnya, kesempatan besar datang untuk Courtois. Belum genap umur 17 tahun (16 tahun 341 hari) dia melakukan debut pertamanya sebagai pemain professional melawan Gent pada tanggal 17 April 2009. Sejak hari itu, karirnya berjalan baik. Dia menjadi sosok penting saat Genk mengunci gelar Belgian Pro League musim 2010-2011. Saat itu juga, dia menerima penghargaan Goalkeeper of The Year dan Genk’s Player of The Year karena hanya kebobolan 32 gol dari 40 penampilan dan sukses membuat 14 cleansheet bersama Genk.

Emas di sudut paling jauh, masih akan terlihat terang. Chelsea mencium talenta hebatnya. Pemain yang tampil gemilang di Liga Belgia di usia sangat muda, membuat Chelsea tertarik mendapatkan jasanya. Akhirnya, pada Juli 2011 Chelsea mengamankan tanda tangan Courtois dalam kesepakatan kontrak selama 5 tahun. Namun karena minimnya pengalaman bermain di level tinggi liga besar Eropa, dan umurnya yang masih sangat muda, Courtois sudah dipinjamkan ke Atletico Madrid setelah hanya beberapa minggu setelah bergabung dengan Chelsea. Chelsea berharap dia bisa diambil kembali saat sudah berkembang.

Lalu, apa harapan Chelsea berjalan dengan baik?

Tepat. Setelah hengkangnya David de Gea ke Manchester United, Courtois mengenakan nomor punggung peninggalannya. Bersaing secara sehat dengan kiper Atletico yang lain, Sergio Asenjo, Courtois selalu melakukan tugasnya dengan baik. Debutnya bersama Atletico berbuah kemenangan besar 4-0 atas Victoria S.C dan 3 hari setelahnya berhasil cleansheet dalam laga imbang tanpa gol melawan Osasuna di Liga Spanyol. Puncaknya, Atlecico mencapai final UEFA Europa League 2012 dan berhasil menjuarainya setelah mengalahkan Bilbao di All Spain Final dengan hasil telak 3-0. Tepat, Courtois lagi lagi cleansheet.

Tak habis disitu, memasuki musim 2012-2013 bagai buah simalakama bagai Chelsea. Chelsea harus berhadapan dengan pemainnya sendiri saat Piala Super Eropa 2012 di Monaco. Dan apa hasil yang diraih Chelsea? Courtois dkk. berhasil membuyarkan harapan Chelsea untuk membawa pulang trofi Piala Super ke London karena kalah telak 4-1.

Hari demi hari, bulan demi bulan, Chelsea lagi lagi harus bertemu Atletico dengan Courtois andalannya di semifinal Liga Champions 2013-2014. Courtois lagi lagi sukses memulangkan Chelsea ke London setelah menyingkirkan mereka di semifinal.




I worth it.

Mungkin begitu pikir Courtois setelah tampil gemilang melawan klub yang meragukannya.

Chelsea tak ingin meminjamkannya terlalu lama. Setelah di laga kancah Eropa sebelumnya Courtois berhasil ‘memulangkan’ Chelsea ke London, kini giliran Chelsea yang ingin membawanya pulang ke London. Namun saat desas desus rumor itu ramai, Courtois sempat bilang bahwa dia hanya ingin pulang jika menjadi pemain inti di Chelsea. Alhasil, Jose Mourinho memberinya garansi bermain, sampai akhirnya pada juni 2014 Courtois benar benar pulang ke Stamford Bridge. Mourinho mengatakan bahwa dia akan melakukan debutnya di laga pertama Premier League Chelsea melawan Burnley. Meski tak cleansheet, Chlesea berhasil membawa pulang 3 poin bersama Courtois di line-upnya. Laga kedua melawan Leicester, Courtois berhasil cleansheet setelah Chelsea menang di kandang. Semua berjalan baik sampai September 2014, Chelsea memberinya kontrak jangka panjang (5 tahun) yang akan mengikat Courtois sampai 2019.

…………..


Oke, mari istirahat sejenak membicarakan fakta fakta diatas. Artikel ini ditulis bukan untuk membicarakan banyaknya prestasi Courtois, melainkan sosok yang ada dibelakang Courtois saat ini karena memang itulah keadaannya. Mari membicarakan transfer Courtois dari sudut pandang yang lain. Mungkin tak layak jika kita sebut sudut pandang orang yang dirugikan, namun saya rasa pihak yang dirugikan adalah Petr Cech. Dia banyak kehilangan menit bermain karena penampilan Courtois yang nyaris sempurna. Yak, untuk waktu yang tak sebentar, Cech menghabiskan musim 2014/2015 dibelakang Courtois.



People come and go, they said.

Ada yang datang, ada yang pergi. Fans Chelsea tidak mungkin melupakan apa saja yang dipersembahkan Petr Cech kepada mereka selama 11 tahun pengabdiannya di Chelsea. Dari masa masa Cech bermain tanpa pelindung kepala, sampai sekarang pelindung kepalanya yang tak juga lepas, dia sudah memberi banyak trofi kepada fans dan satu trofi yang sangat sangat sangat diimpikan Roman Abramovich sampai membuat Abramovich buta dengan memecat banyak pelatih karena saking menginginkannya trofi itu. Benar, trofi Liga Champions. Cech sempat mempersembahkan trofi Liga Champions dengan peran pentingnya di laga itu, salah satunya saat Cech melakukan penyelamatan oleh penalty mantan pemain Chelsea, Arjen Robben, dan tampil gemilang di babak adu penalty sampai akhirnya berhasil membuat Bayern harus kehilangan trofi UCL di kandang sendiri.



Setelah datangnya Courtois, seakan hal hal magis itu hilang. Dia menjadi pilihan kedua karena Courtois tampil gemilang. Saya sendiri sebagai fans Chelsea yang telah melihat banyak masa sukses Cech merasa janggal saat melihatnya menghangatkan bangku cadangan. Since that day, Stamford Bridge will never be the same.

Satu musim melihat Cech banyak menghabiskan waktu di bench daripada di lapangan membuat saya sedikit frustasi, lalu berandai andai jika mimpi buruk terjadi, salah satunya menerima mentah mentah spekulasi dan rumor jika Cech pindah ke klub lain.

Believe me, bruh. It’s hard to let go someone when they give you too much reason to stay.

Namun, musim 2015/2016 belum bergulir, apa yang saya takutkan terjadi. Arsenal resmi mengumumkan bahwa mereka berhasil mendapatkan tanda tangan Cech dalam kontrak 4 tahun dengan biaya transfer sekitar 11 juta pounds.



Saya ngerasa kayak.. “OH MY DEAR GOD, WHY?!” dari banyaknya klub besar yang sedang membutuhkan kiper, kenapa harus pindah ke Arsenal? Melihat pindahnya pemain favorit ke rival sekota, berasa lebih sakit kayak ditinggal pas lagi sayang sayangnya. Lebih tepatnya, berasa kayak melihat pacar kita yang udah 11 tahun bersama, dipacarin tetangga sebelah. Okay, memang karma itu ada. Fans Chelsea pernah merasa bangga setelah setahun sebelumnya Fabregas didatangkan dari Barcelona. But wait, apakah fans Arsenal patut marah? Tunggu dulu, tak ada transfer langsung dari Arsenal-Chelsea saat Cesc Fabregas pindah ke Stamford Bridge, itupun Wenger juga sempat bilang jika tak ada lagi tempat untuk Fabregas di Arsenal. Jikalau Wenger patut kecewa, tentu itu sudah masa masa saat Fabregas pindah ke Barcelona, bukan saat pindah ke Cheslea. Jadi, saya fans Chelsea yang mengetahui Fabregas didatangkan, merasa hal itu cukup wajar dan tak patut diperdebatkan.

And then shit happens..

Cech benar benar menyeberang ke rival sekota. Berasa kayak nggak bisa berbuat apa apa. Mau marah marah, tertelan fakta bahwa Cech emang udah nggak kepakai lagi di Chelsea, keadaan yang kurang lebih sama seperti apa yang dikatakan Wenger saat transfer Fabregas. Satu satunya yang membuat saya dan sebagian besar fans Chelsea tak terima dengan transfer itu ternyata hanya karena rivalitas belaka.

Namun, apakah Cech sejatinya tepat memutuskan bermain untuk Arsenal?

Patut dibahas. Setelah sejak awal perpindahannya terasa janggal untuk fans Chelsea, kami juga harus mulai membuka mata untuk tidak melihat suatu hal dari satu sisi saja. Saat ini, mungkin banyak sekali yang menganggap Cech sebagai ‘pengkhianat’ karena menyeberang ke klub yang telah lama mereka benci. Bahkan, ada beberapa fans Chelsea berotak dangkal yang memberikan ancaman mati kepada Cech. Itulah sedikit contoh dari sekian fans yang hanya melihat dari satu sisi.

Bagaimanapun juga, Cech dirasa cukup tepat pindah ke Arsenal dan ada alasan baik kenapa Cech memutuskan untuk menyeberang kesana. Saya yang telah melihat banyak laga bersama Cech di dalamnya, tentu sulit merelakannya pergi, apalagi ke tempat rival sekota. Namun, keputusan terbaik akan selalu saya hargai. Bukan mustahil jika ini adalah langkah awal untuk Cech menjadi legenda Arsenal. Coba lihat Van der Sar, dia pindah ke Manchester United saat umurnya tidak muda lagi, dan lihat apa yang telah dia persembahkan untuk United. Di pihak Cech juga, kiper umur 33 tahun masih bisa mempunyai karir yang sangat panjang dan gemilang.

Tentunya saya dan mungkin juga semua fans Chelsea di seluruh dunia, tak ingin melihat Cech ‘mati suri’. Tentu di lubuk hati yang paling dalam, kita masih ingin melihat kehebatan Cech tiap pekan.

Sampai bertemu di Community Shield, Cech!

Minggu, 05 Juli 2015

Sakit Hati Atau Sakit Gigi?

Kembali lagi bersama saya. Blogger sok jenaka yang nyatanya bukan siapa siapa, pecinta sepakbola yang lebih suka komentarin daripada main, dan peracik sajak yang tiap ada event puisi nggak pernah diajak.

Beberapa hari yang lalu, pernikahan kaum gay udah dilegalin di Amerika. Itu berarti pria gay disana udah berani ngaku ke publik kalo mereka suka sesama jenis, dan bahkan melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius. Jadi, udah tau kan alasan kenapa cowok kamu sekarang mulai ilang ilangan? Yak betul, cowok kamu udah pindah dan jadi warga negara Amerika. Nggak usah dicari cari lagi, mereka udah menemukan tambatan hati. Mending nerusin baca blog gue daripada frustasi. Muehehe.

Pas #LoveWins dilegalkan disana, setiap timeline muncul warna pelangi. Hestek, ava, setiap sudut layar jadi berwarna. Channel TV gue pas tengah malem juga tiba tiba jadi pelangi.

Sebentar.. itu color bar.

Tapi tenang, kali ini gue nggak akan bahas trending topic #LoveWins di blog. Gue bakal bahas apa yang gue rasain pas itu TT masih rame beberapa hari yang lalu. Waktu itu gue lagi sakit gigi. Iya, sakit gigi.

Kalian pernah kan, sakit gigi? Tau kan, betapa ngilu rasanya pas sakit gigi? Menurut gue, rasanya 11-12 kayak ngilu ditinggal pas lagi sayang sayangnya, atau ngilu pas jatuh cinta sama cewek, nggak taunya itu budhe kita sendiri. Sakit gigi itu bro, denger suara dikit kepala pusing. Denger orang ngetwit, pusing. Denger orang ngomongin kita dari belakang, emosi naik sampe pengen nimpuk kepala mereka pake batu. Bentar, itu wajar. Waktu gue sakit gigi gue nggak bisa ngapa ngapain, gue cuman tergeletak diatas kasur dengan kepala tertutup bantal sama guling. Ngerasain ngilunya sakit gigi tuh berasa kayak ngajak Jerman perang dunia lagi. Tapi nggak papa, untungnya everything’s under control.

Waktu itu, bagian gigi gue yang sakit adalah gigi geraham kiri yang paling belakang, yoi gigi gue berlubang. Sebenernya, pertama kali gue ngerasain sakit di gigi geraham itu setahun yang lalu, pas gue masih smester satu. Gue masih dirumah, waktu menunjukkan sekitar jam 1 malem dan gue ngerasa itu kayak malem terakhir gue di dunia. Gue merintih, mukulin tembok kamar make tangan kanan. Gue ngerasa, dengan rasa sakit ditangan yang gue bikin karena mukulin tembok, bisa sedikit menyamarkan sakitnya gigi yang gue rasain. Gue masih merintih, sedikit meronta di tengah senyap karena nyokap bokap gue udah tidur di kamar sebelah. Adek gue juga nggak jelas gimana kabarnya.

Sekitar satu setengah jam gue meronta, nyokap gue dateng dan masuk kamar. Lampu kamar gue dinyalain.

“Mas kenapa? Sakit gigi ya?” Tanya beliau.

Gue pengen jawab “Menurut L?!” takut dikutuk jadi batu. Lalu gue iyain sambil merem, kedua mata kayaknya udah nggak kuat melek buat ngeliat kenyataan.

“Nggak ada obat ya mah?” Tanya gue dengan wajah berurai air mata.

“Duh, gimana dong. Jam segini ya udah nggak ada warung buka. Apotik depan juga udah tutup.” Jawab nyokap tanpa memberi sedikitpun harapan buat ngelanjutin hidup.

Gue masih merintih, nyokap gue keluar kamar beberapa saat lalu masuk lagi. Dengan mata setengah merem, gue ngeliat nyokap bawa bedak punya adek gue. Itu bedak yang biasanya diusapin ke muka adek gue tiap abis mandi.

“Sini pipinya mama usapin bedak pelan pelan, daripada mas pegangin mulu.” Anjur nyokap.

Gue yang emang tiap sakit manjanya bukan main, tidur dipangkuan nyokap dengan pipi diusapin pake bedak. Rasanya masih sakit, cuman perlahan mulai ilang sampe gue ketiduran.

Esok paginya, gue dianterin bokap ke dokter gigi deket rumah. Gigi geraham gue masih sakit dan gue keluhkan semua yang bikin gue sampe ke tempat itu. Sampe akhirnya, gue disuruh terbaring di kursi praktek dengan sisi kanan dan kiri lengkap dengan senjata operasi. Beberapa macam alat praktek, pisau dan semacam tang kecil terletak rapi disitu, kilaunya bikin gigi gue makin ngilu. Pas dokter ngecek gigi geraham gue, dia bilang “Wah, ini mah lobangnya udah gede mas.”

Seperti lubang dihatiku, pikir gue.

Pagi itu juga, gigi gue dibersihin. Gue nggak tau apa, yang jelas gigi geraham gue semacam ditambal sama semen putih. Udah nggak bisa digambarin lagi sakitnya kayak apa. Tapi setelah dokter ngasih obat dan gue minum, gigi gue udah nggak kerasa sakit lagi. Dokter bilang, seminggu lagi gue harus kesitu buat mutusin gigi gue harus ditambal atau dicabut. Gue pun pulang bonceng bokap, sambil meluk bokap gue dari belakang.

Sampe rumah, gue istirahat di kamar. Gigi gue udah nggak kerasa ngilu karena obat yang dikasih dokter tadi. Gue mikir apa yang harus gue tindak lanjuti sama gigi gue yang berlubang ini, apakah dicabut, atau ditambal aja. Gue buka laptop gue lalu googling, apa plus minusnya tambal gigi dan cabut gigi. Apakah cabut gigi berpengaruh sama perubahan wajah gue yang udah jelek ini? Atau cabut gigi bisa bikin dia udah nggak sayang lagi? Bukannya apa, takutnya udah jelek sehabis cabut gigi ntar tambah jelek lagi. Atau apakah dengan tambal gigi, sakitnya masih bisa dateng lagi? Gue masih internetan sejak pagi dan lama lama gue close tab karena pendapat netizen tentang tambal atau cabut gigi ternyata banyak banget.

Seminggu berlalu.. gigi gue nggak kerasa sakit lagi. Dokter yang nganjurin gue buat balik ketempatnya lagi, nggak gue gubris.

Sebulan berlalu.. gue udah masuk kuliah, dan masih nggak kerasa apa apa. Akhirnya gue ngerasa nggak perlu lagi ke dokter yang lama.

Setahun berlalu, itu adalah malam dimana #LoveWins lagi rame. Yak, bener. Beberapa hari yang lalu gigi gue sakit lagi, gigi yang lama. Sebenernya gue udah kepikiran mau ke tempat dokter yang gue datengin setahun yang lalu, tapi rasanya kok gengsi ya. Makanya gue berencana buat ke dokter gigi yang lain. Bisa drama dong kalo gue ke dokter yang kemarin. Setelah setahun ilang, masak tiba tiba gue dateng bawa hati yang rusak, eh.. gigi yang rusak. Nanti dokternya bisa bilang :

“KAMU TUH SELAMA INI KEMANA AJA? DASAR, EMANG SEMUA COWOK TUH SAMA AJA!”

Buat meminimalisir kemungkinan hal itu terjadi, gue masih nyari dokter gigi di sekitar Jogja. Bukan dokter di deket rumah gue.

Sebenernya gue malu nulis semua ini karena alamat blog gue aja vampirgaul, masak vampir sakit gigi, kan gengsi. Saking gengsinya juga, pernah terbesit buat ganti url blog, tapi karena ini alamat udah sejak jaman STM, rasanya sayang banget.


………………………….


Tapi bay, sakitan mana sih, sakit gigi apa sakit hati?


Oke, sebagai manusia yang punya perasaan, gue pernah sakit hati.

Sebagai manusia yang punya gigi, gue juga pernah sakit gigi.

Nah, patut nih dibahas, sakitan sakit gigi apa sakit hati?


…………....


Kalian pernah denger Charlie Brown nggak?

Charlie Brown tuh guys, dia seorang tokoh komik. Dia anaknya suka banget sama selai kacang, apapun yang dia makan, suka diolesin sama selai kacang. Sampai suatu saat, dia disakitin sama orang yang bener bener dia sayang. Saking patah hatinya, tiap dia makan selai kacangnya lagi, rasanya jadi hambar.

Sakit hati emang bikin hal yang kita suka jadi ilang rasanya. Tapi sakit gigi bikin kita nggak bisa ngelakuin apapun yang kita suka. Disitulah perbedaannya. Dulu pernah sakit hati pas abis putus, gue yang emang hobi nonton bola berniat menghibur diri dengan nonton laga BPL. Tapi apa yang gue liat di layar kaca? Pertandingan sepakbola, hanya saja yang terngiang dikepala adalah kenyataan bahwa apa yang gue sayang, udah nggak sama gue lagi. Passion yang gue rasain tiap nonton bola bener bener udah nggak ada. Hambar banget. Sempet nyoba tidur buat sejenak lari dari kenyataan, tapi pas bangun rasanya masih nyesek, kayak pengen terlelap terus. Begitu terus tiap pagi sampai perlahan hati udah bisa mengobati dirinya sendiri. Tapi lain cerita kalo sakit gigi, kalo kita udah bisa tidur sakitnya ilang. Sakit hati enggak, entah berapa bangun tidur yang harus kita alami sampai hati udah nggak kerasa nyesek lagi. Itulah perbedaannya, sakit hati atau sakit gigi emang punya plus minus masing masing. Sayangnya kalo sakit gigi, kamu sama orang yang disayang sekalipun nggak bisa saling mengobati. Gigi yang berlubang nggak akan bisa ketambal gitu aja, hati yang berlubang bisa terisi dengan usaha.

Jadi, mereka yang bilang lebih milih sakit gigi daripada sakit hati, belum pernah ngerasain sakit gigi aja.

Dan mereka yang lebih milih sakit hati daripada sakit gigi, belum pernah kehilangan orang yang bener bener dia sayang.

Gue bersyukur, udah pernah ngerasain keduanya, sampai bisa menuliskan seperti apa sakitnya. Gue bersyukur bisa kenal rasa sakit itu kayak apa. So, gigi sama hati tuh dua hal yang harus bener bener kita jaga. Jangan sampai udah kerasa sakit baru nyadar betapa berharganya dua hal itu. Kayak gue. Nah, mungkin segitu aja yang bisa gue tulis di #NgabubuRead kali ini. Semoga tulisan ini bermanfaat. Maaf bila ada salah penulisan, selamat berbuka! *cium satu satu*